Suatu hari di sebuah
hypermarket. Musim kelengkeng telah tiba. Karena saya sangat suka buah
kelengkeng (tepatnya, saya suka semua buah-buahan yang sedang musim dan murah),
saya pun bergegas menuju counter buah. Karton yang digantung bertuliskan
"Kelengkeng Bangkok Rp 890/ons" itu nyaris tak terlihat karena
dipenuhi kerumunan orang. Apalagi keranjang kelengkengnya.
Berhubung tubuh saya
cukup mungil, saya masih dapat menyelinap di antara kerumunan. Dan olala,
di sekeliling saya, beberapa bapak keren, ibu-ibu trendy dan gadis cantik
dengan tenang dan cuek mengupasi biji-biji kelengkeng itu dan memakannya di
tempat, seakan buah bulat kecil itu adalah makanan yang disediakan untuk
mereka, tanpa peduli pada papan bertuliskan besar-besar "MOHON UNTUK TIDAK
MENCICIPI” yang ditancapkan di antara keranjang.
Kulit kelengkeng
bertebaran di antara buah yang ada, makin lama makin banyak, dan papan itu pun
berdiri sendiri. Sepi. Seorang petugas terpaksa bersabar menunggu agak sepi
untuk membersihkan sampah ranting dan kulit kelengkeng tanpa berani menegur
tindakan ‘para pembeli yang terhormat itu’.
***
Ya, inilah Indonesia.
Selalu itu komentar saya bila ada kebiasaan ‘aneh’ orang Indonesia. Menyeberang jalan dengan
memotong pagar pembatas sudah biasa, padahal di atasnya ada jembatan
penyebarangan yang cukup lega dan nyaman dengan kanopinya walau, yaa, capek
sedikit karena harus naik turun tangga. Buang sampah sembarangan juga sudah
biasa, karena di kereta, halte dan tempat-tempat umum lain tak ada tempat
sampah. Termasuk soal ‘mencicipi’ makanan di tempat orang berjualan.
Hal kecil itu dianggap sebagai sesuatu yang biasa, sangat biasa malah. Saking biasa dan wajarnya hingga yang melakukannya pun bukan cuma orang miskin yang memanfaatkan kesempatan untuk dapat makan gratis. Bahkan kebanyakan mereka adalah dari kalangan yang sebenarnya sangat tidak berkekurangan. Tengok pula, berapa banyak ibu-ibu atau nyonya-nyonya belanja sayur di pasar atau pun di tukang sayur yang sering mencicipi berbiji-biji dan minta tambahan tanpa keridhoan si penjual.
Hal kecil itu dianggap sebagai sesuatu yang biasa, sangat biasa malah. Saking biasa dan wajarnya hingga yang melakukannya pun bukan cuma orang miskin yang memanfaatkan kesempatan untuk dapat makan gratis. Bahkan kebanyakan mereka adalah dari kalangan yang sebenarnya sangat tidak berkekurangan. Tengok pula, berapa banyak ibu-ibu atau nyonya-nyonya belanja sayur di pasar atau pun di tukang sayur yang sering mencicipi berbiji-biji dan minta tambahan tanpa keridhoan si penjual.
Jadi?
Sesungguhnya ini adalah masalah paradigma, cara pandang, yang kemudian membudaya. Cara pandang yang menganggap kata korupsi hanya perlu dilabelkan pada hal-hal besar, entah urusannya yang besar atau pun nilainya yang besar. Namun kalau sekedar mencicip makanan, mengurangi ongkos bis atau minta tambah ke penjual adalah hal biasa saja. Demikian apa yang dipikirkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Sesungguhnya ini adalah masalah paradigma, cara pandang, yang kemudian membudaya. Cara pandang yang menganggap kata korupsi hanya perlu dilabelkan pada hal-hal besar, entah urusannya yang besar atau pun nilainya yang besar. Namun kalau sekedar mencicip makanan, mengurangi ongkos bis atau minta tambah ke penjual adalah hal biasa saja. Demikian apa yang dipikirkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Padahal, lupakah kita
bahwa Allah melarang kita memakan dan mengambil sesuatu yang bukan haknya,
kecil atau pun besar nilainya? Allah menyebut “Janganlah engkau ambil sesuatu
yang bukan hakmu.” Dan itu berlaku untuk semua. Sebiji kelengkeng maupun
seratus perak ongkos yang mesti kita bayarkan. Sebutir anggur maupun mengambil
duit yang dititipkan nasabah di bank.
Di sebuah supermarket
lain.
Seorang anak SD merengek takut-takut kepada ibunya untuk makan buah kelengkeng. Sang ibu yang sedang memasukkan buah kelengkeng ke kantong plastiknya di keranjang lain, dengan enteng menjawab, ”Ya udah ambil! Makan aja, gak papa.” Kata si Ibu enteng sambil terus memasukkan buah kelengkeng ke kantong belanjaannya. Sang anak pun meraup segenggam kelengkeng dari keranjangnya dengan sembunyi-sembunyi dan memasukkannya ke kantong rok yang dipakainya. Diambilnya satu butir lagi, langsung kupas dan masuk mulut. Saat matanya bersirobok pandang dengan saya, dia bergegas menghindar sambil melirik takut-takut.
Seorang anak SD merengek takut-takut kepada ibunya untuk makan buah kelengkeng. Sang ibu yang sedang memasukkan buah kelengkeng ke kantong plastiknya di keranjang lain, dengan enteng menjawab, ”Ya udah ambil! Makan aja, gak papa.” Kata si Ibu enteng sambil terus memasukkan buah kelengkeng ke kantong belanjaannya. Sang anak pun meraup segenggam kelengkeng dari keranjangnya dengan sembunyi-sembunyi dan memasukkannya ke kantong rok yang dipakainya. Diambilnya satu butir lagi, langsung kupas dan masuk mulut. Saat matanya bersirobok pandang dengan saya, dia bergegas menghindar sambil melirik takut-takut.
Seorang anak yang polos
bisa merasakan, bahwa apa yang dilakukannya bukanlah tindakan yang tidak benar.
Namun ajaran yang diterimanya dari ibunya, bisa jadi akan membuatnya menjadi
seperti bapak keren, ibu trendy dan gadis cantik yang saya ceritakan di awal
paragrap, pada suatu hari nanti saat dia beranjak dewasa. Kecuali kalau kita
semua, para orang dewasa, tidak lagi menganggap hal-hal semacam ini sebagai
suatu masalah ‘kecil’ dan wajar. Kecuali kalau kita mulai menempatkan sesuatu
pada haknya, mulai dari diri sendiri dan hal-hal kecil yang kita lakukan.
Penulis : Azimah Rahayu